Berita Energi
Pertamina Wujudkan Kedaulatan Energi

Published by: investor.id 15 June 2022
Di baca: 14 kali
JAKARTA, investor.id – Meski masa keemasan migas akan berakhir cepat atau lambat, PT Pertamina (Persero) tetap menggenjot produksi melalui kegiatan pengeboran. Hal itu dilakukan BUMN energi ini karena misi mewujudkan kedaulatan energi nasional dengan berkontribusi lebih dari 60% dari target produksi minyak nasional sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada 2030.

“Masa keemasan migas soon or later akan berakhir digantikan dengan energi terbarukan. Oleh karena itu, waktu yang ada harus agresif karena cadangan masih ada kemudian dikapitalisasi menjadi produksi,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam acara Gathering Pemimpin Redaksi Media Bersama Direksi Pertamina, di Jakarta, Rabu (8/6/2022).

Nicke menegaskan, Pertamina memiliki misi utama menjaga keandalan dan kemandirian energi nasional serta mewujudkan kedaulatan energi. Karenanya, melalui PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream, Pertamina terus berupaya meningkatkan kinerja untuk mendukung ketahanan energi nasional.

“Pada kondisi hari ini hampir seluruh negara mengandalkan fossil energy maka bisnis oil and gas tetap kita jalankan. Harus kita tingkatkan dengan cara berbeda yang lebih efisien dan lebih green,” papar Nicke.

Untuk meningkatkan produksi, Pertamina menggenjot kegiatan pengeboran di area baru dan eksisting secara massif dan agresif. Salah satunya di Blok Rokan yang saat serah terima ke Pertamina pada 9 Agustus 2021 produksinya 142.000 barel per hari (bph). Dalam waktu tiga bulan Pertamina melakukan pengeboran yang massif sampai 118 sumur baru di area yang belum pernah dibor sehingga meningkatkan produksi ke 158.000 di akhir 2021. “Tahun ini targetnya 500 pengeboran. Ini yang paling tinggi sepanjang sejarah,” ujarnya.

Rig Offshore milik PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT)
Rig Offshore milik PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT)
Subholding Upstream Pertamina tercatat memiliki rencana kerja tahun ini yang agresif, antara lain pemboran sumur pengembangan sebanyak 813 sumur, pemboran sumur eksplorasi sebanyak 29 sumur, penambahan rencana kerja workover, perawatan sumur, dan reaktivasi sumur; memastikan onstream pengembangan OPLL 2A, SLO Stage 1 Rokan, Jambaran Tiung Biru, ABG Gantar Optimasi, Zulu Phase 2; maintenance dan peningkatan integritas fasilitas produksi; serta mendorong capaian dari waterflood di PEP, PHE, PHI.

Dengan wilayah kerja yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara dan mancanegara, PHE berhasil menorehkan angka kumulatif produksi domestik dan luar negeri pada triwulan I tahun 2022 sebesar 523 MBOPD (ribu barel minyak per hari) untuk minyak serta 2.612 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) untuk gas. PHE juga telah menyelesaikan pemboran sumur pengembangan sebanyak 144 sumur dan sumur eksplorasi sebanyak 2 sumur.

Pada tahun 2021, produksi hulu migas naik menjadi 897 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD) dari 863 MBOEPD di tahun 2020. Capaian ini diperoleh dari kinerja produksi minyak mencapai 445 MBOPD, dan kinerja produksi gas mencapai 2.615 MMSCFD. Sehingga Pertamina memberikan kontribusi lebih dari 60% pada produksi migas nasional.

Selain itu, dengan pengeboran yang masif di tangan Pertamina, produksi Blok Rokan juga meningkat. Berbagai program efisiensi pun telah berhasil membuahkan penghematan biaya sebesar US$ 1,4 miliar.

Produksi BBM juga tercapai sesuai target, sehingga tidak ada tambahan impor. Khusus untuk Solar dan Avtur, sejak April 2019 Pertamina sudah tidak lagi melakukan impor. Pertamina juga menyelesaikan pembangunan 2 tanker migas raksasa yaitu VLCC Pertamina Pride dan Pertamina Prime, yang digunakan untuk pasar global.

Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor migas juga terus dibangun. Hal ini mengingat fakta bahwa Indonesia masih harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan BBM. “Kalau kita lihat bauran energi dari strategi energi nasional masih ada dominasi oil and gas walaupun menurun porsinya dari 32% hari ini ke 20%,” katanya.

Transformasi dan Kinerja

Pertamina berhasil melakukan transformasi bisnis, meningkatkan efisiensi dan produksi, menjalankan transisi energi, sekaligus melakukan pembangunan infrastruktur migas serta proyek kilang Refinery Development Master Plan (RDMP).

Nicke mengatakan, di tahun 2021 Pertamina sukses melakukan transformasi dengan membentuk Holding Migas dengan 6 Subholding, yakni Subholding Upstream, Subholding Refining and Petrochemical, Subholding Commercial and Trading, Subholding Gas, Subholding Integrated Marine Logistics, dan Subholding New and Renewable Energy.

“Transformasi ini merupakan langkah strategis untuk beradaptasi dengan perubahan bisnis ke depan, bergerak lebih lincah dan lebih cepat, serta fokus untuk pengembangan bisnis yang lebih luas dan agresif,” ujar Nicke.


Keberhasilan transformasi ini mendongkrak laba bersih konsolidasian (Audited) tahun 2021 sebesar US$ 2,05 miliar atau sekitar Rp 29,3 triliun. Angka ini naik hampir dua kali lipat dibanding tahun 2020 sebesar Rp 15,3 triliun. Capaian ini juga tercatat 154% melampaui target RKAP 2021.

Kinerja keuangan positif Pertamina juga ditunjukkan dengan EBITDA sebesar US$ 9,2 miliar. Ini menunjukkan keuangan Pertamina dalam kondisi sehat (AA), aman dan mampu bertahan di tengah tantangan disrupsi dan geopolitik yang mempengaruhi industri migas dan energi secara global.

Laba bersih Pertamina ini merupakan laba konsolidasian dari seluruh anak usaha dari hulu, pengolahan, hingga hilir. Sebagian besar laba dikontribusikan dari pendapatan sektor hulu yang ikut melonjak (windfall) karena naiknya harga Indonesia Crude Price (ICP).

Adapun sektor hilir hingga saat ini masih tertekan dengan tingginya biaya produksi BBM yang komponen terbesarnya adalah minyak mentah. Sekitar 92% biaya pengadaan BBM adalah harga minyak mentah, sehingga lonjakan harga minyak mentah membengkakkan biaya produksi BBM.

Nicke juga memaparkan bahwa bisnis Pertamina terintegrasi dari hulu hingga hilir. Di saat harga minyak dunia melambung, Pertamina turut merasakan windfall profit. Dia menyebut pada tahun lalu kontribusi terbesar dari sektor hulu. Hal ini lantaran target ICP dalam APBN 2021 sebesar US$ 40 per barel. Sedangkan rata-rata ICP di 2021 sebesar US$ 68 per barel. Namun, lanjut dia, di sisi hilir Pertamina memiliki beban lantaran harga BBM tetap ditahan dalam menjaga daya beli masyarakat.

Namun, arus keuangan Pertamina dalam posisi aman lantaran pemerintah telah membayarkan subsidi maupun kompensasi, meskipun belum sepenuhnya cair. Pemerintah telah membayar Rp 29 triliun untuk anggaran subsidi dan kompensasi, sehingga masih tersisa Rp 72 triliun. Dia pun mengungkapkan regulasi teranyar audit anggaran subsidi dan kompensasi BBM tidak perlu menunggu akhir tahun. Audit dilakukan setiap satu semester.

Pencapaian kinerja 2021 tak lepas dari upaya efisiensi besar-besaran di 2021. Untuk bisa survive dalam kondisi saat ini, Pertamina tidak hanya melakukan cost efficiency, tapi juga menjalankan program cost optimization karena adanya cost avoidance yang kalau itu terjadi maka akan menambah biaya.


“Jadi ada cost saving, cost avoidance, ada juga revenue enhancement di saat bersamaan. Tahun 2021 yang menyelamatkan sehingga bottom line kita positif. Cost optimization sebanyak US$ 2,2 miliar dan cost saving US$ 1,3 miliar, tapi ada juga revenue enhancement hampir US$ 0,5 miliar. Ini kontribusi seluruh perwira Pertamina agar perusahan ini going concern di 2021,” katanya.

Distribusi BBM hingga Pelosok

Tidak hanya berperan sebagai penyedia energi, Pertamina juga mendistribusikannya secara merata ke seluruh penjuru negeri. Karenanya, Indonesia timur menjadi salah satu perhatian utama Pertamina.

Untuk meningkatkan keandalan suplai BBM khusus di Indonesia Timur, Pertamina telah membangun dan mengoperasikan 13 terminal BBM baru. “Tahun lalu kita membangun 13 terminal BBM di Indonesia timur. Selama ini diangkut di Jawa. Sekarang punya stok di Indonesia timur,” kata Nicke.

Digitalisasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir menjadi salah satu kunci keberhasilan Pertamima dalam mengendalikan produksi dan distribusi BBM, serta peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat. Melalui Integrated Commands Centre, seluruh aktivitas operasional dapat dimonitor secara online dan real time. Penggunaan aplikasi MyPertamina untuk cashless payment semakin meningkat, dan saat ini sudah mencapai lebih dari 22 juta pengguna.

Pertamina juga terus menjalankan Proyek Strategis Nasional (PSN), di antaranya Kilang RDMP Balikpapan (realisasi progres 47%), Kilang RDMP Balongan (realisasi progres 68,5%), Green Refinery Cilacap, Kilang GRR Tuban, serta proyek prioritas lainnya untuk memperkuat bisnis Petrokimia Pertamina seperti Polyprohylene Balongan, Revamping Aromatic TPPI, dan Olefin TPPI.

Adapun untuk kilang, saat ini adalah kilang yang sudah mature. Berdasarkan hasil kajian Pertamina, ada kilang yang masuk kategori warna merah dan kuning yang artinya harus diperbaiki atau diganti. Sedangkan yang warna hijau harus diperbaiki saat turn around yang sudah dijadwalkan.

“Kalau mau ideal yang warna merah atau kuning ini harus segera diperbaiki atau diganti. Tapi itu harus dimatikan kilangnya. Yang teriak seluruh negeri karena impor naik kemudian defisit neraca perdagangan melonjak. Tantangannya bagaimana mengoperasikan kilang yang sudah mature ini tapi paralel melakukan perbaikan dan membangun kilang baru seperti di Balikpapan,” jelas Nicke.

Selain menambah kapasitas kilang, Pertamina juga harus meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan tuntutan global.

Prioritaskan PSO

Sebagai BUMN, Pertamina harus mencapai dua hal, yakni meraih profit dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat (public service obligation/PSO). Akan tetapi, melihat turunnya daya beli masyarakat, Pertamina tahun ini lebih memprioritaskan PSO, yakni kewajiban BUMN untuk memenuhi hajat hidup masyarakat sesuai pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 2023 tentang BUMN.

“Kalau harga BBM dinaikkan, inflasi akan melonjak, dan itu akan sangat memberatkan masyarakat dan mempengaruhi stabilitas ekonomi makro,” ujar Nicke.

Dalam kondisi perekonomian penuh tekanan, adalah saatnya bagi Pertamina untuk memberi dan bukan sebaliknya. “Tidak elok kalau kita menargetkan US$ 3 miliar net profit, tapi harga BBM kami naikkan. Terus daya beli masyarakat turun dan inflasi naik. Ini bukan Pertamina banget. Hari ini, yang diperlukan negara pengorbanan Pertamina. It time to give, not to take," tegas dia.

Nicke memastikan bahwa Pertamina tidak akan menaikkan harga BBM subsidi jenis solar dan minyak tanah serta LPG kemasan 3 kilogram. Penaikan harga juga tidak akan dilakukan terhadap BBM jenis Penugasan yakni Pertalite.

Dia mengungkapkan, salah satu tantangan Pertamina saat ini adalah dalam menjaga konsumsi BBM masyarakat agar tidak melampaui kuota subsidi yang ditetapkan. Berapa pun kuota BBM subsidi yang dialokasikan bisa tidak mencukupi kebutuhan bila tidak tepat sasaran.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati (kiri) dan Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Djoko Priyono (kanan). Foto: Primus Dorimulu. 
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati (kiri) dan Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Djoko Priyono (kanan). Foto: Primus Dorimulu.
“Kami harus menjaga agar kuotanya tidak jebol, yaitu dengan pengendalian dengan sistem di nozzle setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Kalau kuotanya lewat ya kami (Pertamina) akan terdampak,” ujar Nicke.

Pertamina bersama pemerintah sedang menyiapkan sistem yang memudahkan pengawasan. Salah satu opsi yang dilakukan melalui aplikasi MyPertamina yang terkoneksi dengan sistem di nozzle setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). "Bagi kendaraan yang tidak berhak maka nozzle tidak akan mengeluarkan bensin," terang dia.

Dia pun mengajak masyarakat turut serta dalam mengawasi distribusi BBM subsidi. Masyarakat bisa melaporkan dugaan penyelewengan dengan menghubungi call center Pertamina 135. "Beberapa penimbunan BBM yang ditangkap dari laporan masyarakat ke 135," ucap dia.

Kontribusi ke Negara

Pada 2021, kontribusi Pertamina terhadap penerimaan negara mencapai Rp 167,7 triliun yang berasal dari pajak, dividen, PNBP, dan signature bonus. Angka itu meningkat dari tahun 2020 sebesar Rp 126,7 triliun. Demikian juga dengan pembayaran minyak mentah dan kondensat bagian negara (MKKBN) mencapai Rp 97,3 triliun dari tahun sebelumnya Rp 70 triliun.

“Kita menjalankan amanat untuk menyediakan energi, kita juga harus profitable menghasilkan profit Rp 29,3 triliun dan kita juga memberikan setoran ke negara Rp 265 triliun di tahun 2021 dan ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya Rp 170 triliun. Ini secara garis besar kinerja Pertamina di 2021,” ujar Nicke.

Pertamina juga menjadi motor penggerak industri dalam negeri dengan capaian TKDN sebesar 60% atau lebih tinggi dua kali lipat dibanding target tahun 2021 sebesar 30%. Selain itu, sepanjang tahun 2021 sebanyak 881 UMKM binaan Pertamina naik kelas (go modern, go digital, go global).


Pertamina Grup juga ikut berkontribusi dalam penanganan Covid-19 di Indonesia yang nilainya mencapai Rp 2,1 triliun. Ini terutama dilakukan oleh Rumah Sakit Pertamina Jaya (RSPJ), RS Modular Simprug, dan RS Pertamina di daerah sebagai Rumah Sakit Covid-19.

"Tak hanya itu, dukungan kepada pemerintah pada penanganan Covid-19 kami wujudkan dengan membangun dan merevitalisasi 7 rumah sakit khusus Covid-19 dengan kapasitas 1.200 bed, serta bantuan lainnya dengan total nilai Rp 2,1 triliun," ucap Nicke.

Pertamina Grup juga mendistribusikan bantuan oksigen sebanyak 4.964 ton untuk memenuhi kebutuhan pasien terpapar Covid-19 di 539 Rumah Sakit di 14 Provinsi di Pulau Jawa, Bali, NTB, Kalsel, Kalteng, Sumbar, Sumsel, Babel dan Lampung.

ESG Risk Rating

Dalam aspek Environmental, Social, & Governance (ESG), Pertamina berhasil meningkatkan posisinya dengan menempati ranking 15 di antara perusahaan energi global. Pada September 2021, Pertamina menerima ESG Risk Rating oleh Sustainalytics sebesar 28,1 dan dinilai berada pada Risiko Medium dalam mengalami dampak keuangan material dari faktor-faktor ESG. Dengan skor ini, Pertamina menempati posisi 15 dari 252 perusahaan di industri oil & gas dan posisi 8 di sub industri integrated oil & gas.

Risk Rating ini mengalami perbaikan signifikan dari sebelumnya mencapai 41,6 (Severe Risk) pada Februari 2021. Pertamina berada di cluster yang sama (Medium Risk) dengan perusahaan global seperti Repsol, ENI, PTT Thailand dan TotalEnergies. Posisi ini pun tercatat lebih baik dari Shell, BP, Exxon Chevron, bahkan Petronnas.


Pencapaian ini merupakan hasil dari berbagai program dekarbonisasi yang terus digenjot, di antaranya penggunaan gas buang sebagai sumber energi listrik (flaring gas recovery system) yang menggantikan porsi pembangkit diesel, pemasangan PLTS di Blok migas, Kilang, Terminal BBM dan SPBU, pengembangan green hydrogen dari panas bumi, serta Program Langit Biru.

Nicke melanjutkan, Pertamina teguhkan komitmennya untuk Net Zero Emission di tahun 2060, melalui kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan global, di antaranya Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS), Carbon Trading, Green Energy Cluster, Natural Carbon Solution, EV battery ecosystem, dan pengembangan green hydrogen dari energi terbarukan.

"Di tahun 2021, kami menggaungkan Program Langit Biru (PLB) yang berhasil dijalankan secara nasional, serta pembangunan Jargas yang secara total telah mencapai 178.000 sambungan rumah," katanya.

Di sisi lain, Pertamina menyumbang pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 27,08% selama periode 2010-2020 melalui program penurunan karbon emisi dengan efisiensi energi.

Nicke mengatakan, pencapaian pengurangan emisi tersebut lebih tinggi dari target nasional yang sebesar 26% pada 2020. "Kami akan terus tingkatkan sehingga target tahun 2030 penurunan karbon emisi 30%, dan juga Net Zero Emission tahun 2060 kami optimis bisa kami memberikan kontribusi besar kepada negara," kata dia.

Dia menjelaskan, penurunan emisi tersebut dilakukan oleh Pertamina melalui program efisiensi energi. Sebagai contoh, Pertamina mengonversi gas buang dalam proses produksi di kilang minyak menjadi energi kembali.


Nicke mengatakan, seluruh capaian tersebut tidak menjadikan Pertamina cepat puas, justru menjadi motivasi untuk dapat memberikan yang lebih baik lagi dalam menghadirkan energi dan melayani masyarakat dan bangsa Indonesia. "Capaian gemilang Pertamina tahun 2021 tentu tidak terlepas dari dukungan Pemerintah, masyarakat, dan stakeholder lainnya, serta tentu saja kerja keras seluruh Perwira Pertamina," tutup Nicke.

Program B30

Program biofuel yang tengah dijalankan Pertamina tidak terkait dengan tingginya harga minyak goreng yang saat ini sedang terjadi, meski keduanya sama-sama menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. “Sebetulnya produk minyak sawit kita kan sekitar 50 juta ton, kebutuhan untuk B30 itu hanya sekitar 8 juta, harusnnya kan sisanya masih banyak,” kata Nicke.

B30 merupakan campuran 30% fatty acid methyl ester (FAME) dengan 70% solar. Produk FAME berasal dari olahan minyak kelapa sawit atau CPO. Pemerintah menerapkan program biosolar ini dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi serta nilai tambah industri kelapa sawit. Selain itu, bahan bakar tersebut relatif lebih bersih dan dapat mengurangi emisi karbon.


Menurut Nicke, program biofuel yang dijalankan sudah sangat tepat karena menyebabkan Indonesia bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan solar, sehingga Indonesia bisa keluar dari krisis gasoil. “Jadi, kalau sampai ada suara yang minta kita mengurangi atau bahkan menghentikan program biofuel, itu artinya kita melangkah mundur,” katanya.

Menurutnya, program B30 sangat efektif bagi kebutuhan prioritas nasional untuk mengurangi emisi sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil, khususnya di sektor transportasi. Kontribusi penggunaan B30 dapat menekan emisi gas rumah kaca sebesar 22,59 juta ton CO2 sepanjang 2021.(jn)

Editor : Nurjoni (nurjoni@investor.co.id)
Thumbnail

Tinggalkan Balasan

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE

© 2021 Universitas Pertamina.
All Rights Reserved